Selasa, 09 Desember 2008

Peranan Dalang Wayang Palembang

Dalam Pendidikan Moral Bangsa

Kanti Walujo

BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Salah satu penyebab perubahan masalah sosial adalah pesatnya perkembangan yang terjadi pada teknologi informasi. Dengan hadirnya internet dikalangan kita maka timbul dampak positif dan negatif sekaligus. Dampak positif, kita dapat menyaksikan peristiwa diseluruh dunia dalam waktu cepat dan murah. Belum lagi kita dapat mengakses berbagai macam ilmu pengetahuan dari negara-negara lain kapan saja dan dimana saja dalam waktu singkat. Sedangkan dampak negatif, masyarakat mengakses pornografi, game sampai judi. Hal ini sangat tergantung pada moral individunya.

Kehidupan individu mengalami perubahan sosial seperti gaya hidup,kecepatan serta kebiasaannya. Yang tadinya bisa bersilaturahmi dengan keluarga, kerabat, sekarang berhari-hari duduk didepan komputer. Belum lagi maraknya mall-mall yang membuat anak-anak menuntut membeli barang-barang yang ditawarkan. Akibatnya banyak individu yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan gaya hidupnya yang berakibat stres dan kelelahan. Dengan demikian perlu adanya keseimbangan antara teknologi canggih atau High Tech dengan tehnologi tradisional. Atau Low Tech. ……

Apa artinya High Tech kalau tidak ada Low Tech? Apa artinya malam kalau tidak ada siang? Apa artinya teknologi canggih kalau tidak diimbangi dengan pendidikan moral? Salah satu pendidikan moral yang gratis diperoleh melalui media tradisional seperti wayang, dimana sang dalang selalu menyampaikan pesan-pesan moral kepada penontonnya. Dengan demikian media tradisional seperti wayang, ludruk dan lain-lain dapat dipakai sebagai filter untuk menghadapi budaya-budaya asing yang marak masuk ke internet. Media tradisional selalu memberikan pelajaran budi pekerti sesuai dengan adat budaya daerah yang berlaku.

Di Indonesia terdapat banyak jenis-jenis wayang yang dapat kita jumpai di kota-kota besar sampai diberbagai pelosok desa. Salah satunya adalah wayang Palembang yang berkembang di daerah Palembang. Wayang Palembang ini menggunakan bahasa daerah Palembang yang mudah dicerna oleh penontonnya.

Wayang Palembang sempat tergeser oleh tontonan seni pop modern yang dinilai jauh lebih menghibur, seperti permainan organ tunggal. Puluhan tahun lalu setiap ada hajatan rakyat tentu hiburan yang disuguhkan wayang Palembang, sekarang yang disajikan band, dangdutan, organ tunggal dan lain-lain.

Dengan demikian masyarakat terutama generasi muda sudah tidak mengenal wayang.Palembang Apalagi bahasa yang digunakan sang dalang adalah bahasa daerah setempat, sehingga anak-anak yang sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia sulit untuk mengerti dan paham isi cerita wayang. Di samping itu filsafat wayang yang sarat dengan pesan-pesan moral tidak lagi menyentuh hati nurani penontonnya. Perlu diketahui bahwa masyarakat Palembang sekitar 40% terdiri dari masyarakat Jawa. Di Palembang selain ada dalang wayang purwo, juga ada dalang wayang Bali dan dalang wayang Golek Sunda. (wawancara dengan Sumari, PDWI tgl.18/7/07).

Sejak UNESCO memberikan pengukuhan wayang Indonesia sebagai Karya Agung Budaya Dunia (Masterpiece of the Oral and Intangible Heritange of Humanity) maka wayang menjadi milik dunia. Penghargaan tersebut diberikan pada tanggal 21 April 2004 yang pada waktu itu diberikan oleh Direktur Jendral UNESCO, Koichiro Matsuura kepada Ketua Senawangi (Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia), H. Solichin di Paris, Perancis. Dalam sambutannya, Koichiro menekankan agar seniman wayang di Indonesia dapat terus melestarikan dan mengembangkan wayang di Indonesia.

Untuk hal tersebut di atas Persatuan Dalang Indonesia (PEPADI) Sumatera Selatan melakukan pelestarian terhadap wayang di Palembang, dengan cara mengadakan festival wayang kulit purwo yang diikuti 7 (tujuh) orang dalang pada tanggal 10-11 Pebruari 2007 di Aula RRI Palembang. Ke tujuh dalang tersbut adalah:

1. Ki Taryoto dengan lakon Lahirnya Jabang Tetuko;

2. Ki Sutarto dengan lakon Semar Boyong;

3. Ki Cahyo Wibisono dengan lakon Jagal Abilowo;

4. Ki Ramidjan dengan lakon Wahyu Tirta Manik Maya Mahadi;

5. Ki Sunarso dengan lakon Semar Mbangun Kayangan;

6. Ki Hendro K. dengan lakon Gatotkaca Sungging;

7. Ki Rakis dengan lakon Bima Bungkus.

Festival wayang diawali pagelaran wayang Palembang dengan dalang Ki Agus Wirawan (putra almarhum Ki Rusdy Rasyid) dengan lakon Prabu Indrapura. Pagelaran wayang Palembang ini menarik perhatian masyarakat Palembang, karena masyarakat sudah lama tidak menonton wayang Palembang.

UNESCO dibantu Senawangi dan pemerintah kota Palembang memberikan bantuan dana berupa peralatan gamelan dan wayang untuk sanggar Sri Palembang (milik almarhum Ki Rusdy Rasyid) maka wayang Palembang mulai bangkit kembali. Wayang-wayang milik almarhum Ki Rusdy banyak yang sudah rusak. Dewasa ini sanggar Sri Palembang memiliki 3 orang dalang, 12 orang penabuh gamelan, semuanya anak-anak muda. (Sumari, Evaluasi Sanggar Pedalangan, 2007).

1.2. Permasalahan.

Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah

1) Sejauh mana dalang wayang Palembang dapat menyampaikan pesan-pesan moral.

2) Model Komunikasi yang bagaimana yang digunakan para dalang dalam mendidik moral bangsa.

1.3. Tujuan Penelitian:

1) Untuk mengkaji sejauh mana dalang wayang Palembang dapat menyampaikan pesan-pesan moral.

2) Untuk mengkaji Model Komunikasi apa yang digunakan para dalang dalam mendidik moral bangsa.

1.4. Kegunaan Penelitian:

Kegunaan praktis dari penelitian ini adalah: kebijakan pemerintah dalam pelestarian dan pengembangan budaya khususnya wayang Palembang dalam mendidik moral bangsa.

BAB II

Kajian Pustaka

2.1. Peranan Dalang

Anderson dalam bukunya Introduction to Communication Theory and Practice (1972) yang dikutip Kanti Walujo (1995) membahas proses komunikasi yang bisa membahas Peranan Dalang Dalam Menyampaikan Pesan Pembangunan. Teori komunikasi model Anderson ini bisa dimanfaatkan untuk menjelaskan peranan dalang wayang Palembang dalam diseminasi informasi publik. Di bawah ini digambarkan model Komunikasi Anderson sebagai berikut:

Source & Receiver Factors

Communication-Binding Context

Channel Elements

Message Elements

Specific Setting Situation & General Environment

Knowledge, ideas, experience

Interaction of all the elements

Nature of Media

Ideas and content

State of things generally

Attitudes, beliefs, values

Effect of time

Limits on audience

Organisation

State of the topic

Needs, wants, goals.

Process nature of communication

Selectivity in transmission of stimuli: sound, sight, others.

Language & style

Immediate environment

.Interests

Complexities due to nature of processes involved in communication.

Delivery elements: spoken, written, others

. Audience size

Group & role memberships

. Interaction of other elements affecting setting

Communication Abilities

Public of private.

Perception of other elements

(Anderson, Introduction to Communication Theory and Practice 1972:9)

2.1.4. Kathy Foley dalam Sundanese Wayang Golek (1979) membahas peranan dalang dalam sosial politik, yaitu pertama, sebagai terompet pemerintah kepada masyarakat; kedua, sebagai media penyampai aspirasi masyarakat kepada pemerintah. Lebih lanjut Kathy Foley membahas panjang lebar tentang peranan dalang dari jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, jaman revolusi, jaman kemerdekan sampai jaman orde baru.

Kalau Kathy Foley membahas wayang Golek Sunda, maka Sulebar Sukarman, dkk (2002) membahas wayang Palembang dari aspek sejarah, aspek seni dan aspek sosial. Dari aspek sosial menjelaskan peran dan fungsi wayang Palembang (Sulebar, 2002:107-108).sebagai berikut:

1) Wayang Palembang as a part of traditional ceremonies.

Wayang Palembang tidak hanya sebagai alat hiburan semata, tetapi ia juga merupakan bagian kehidupan agama dan budaya. .Misalnya dalam ruwatan, orang menanggap wayang.

2) Wayang Palembang as Entertainment

Wayang Palembang sebagai alat hiburan dapat dilihat dari awal pertunjukan sampai selesai. Dari gending-gending (musiknya) penonton wayang merasa senang dan nyaman. Adegan punakawan menyajikan lawakan yang sangat menghibur penonton.

3) Wayang Palembang as a Traditional Medium of Communication..

Wayang Palembang sebagai alat media komunikasi tradisional sejak jaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Dalang Wayang Palembang dapat bertindak sebagai komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan apa saja untuk khalayaknya dengan bahasa daerah yang mudah dicerna.

2.2. Wayang Palembang

Wayang Palembang adalah wayang kulit yang dipagelarkan di Palembang dengan menggunakan bahasa Melayu Palembang. Bentuk fisik sama dengan wayang kulit purwo.

Wayang Palembang dalam perkembangannya telah mengalami pasang surut, baik segi kualitas pertunjukannya, frekuensi pagelarannya, rupa wayangnya, maupun kaderisasi dalangnya Hal ini perlu ditelusuri antara lain faktor-faktor lingkungan eksternal masyarakat pendukungnya, baik secara demografi, geografi, komunitas masyarakatnya baik Jawa maupun penduduk asli.(Sumari, PDWI, 18/7/2007).

Cerita wayang Palembang yang dikenal masyarakat adalah Bambang Tekseno, Prabu Indropura, Petruk Mungga Ratu; Arjuno Duo, Semar kembar. Punakawan dalam wayang Palembang Semar, Petruk dan Gareng. Mereka tidak mengenal tokoh Bagong..Wayang Palembang tidak mengenal jejer, gapuran, limbukan, paseban jawi. (wawancara dengan Pak Dalyono, budayawan Palembang, 2007).

Mikka Widha Nurrochsyam (2005) dalam tulisan Wayang Palembang: Deskripsi tentang Warisan Budaya Diambang Kepunahan mengatakan bahwa kisah wayang Palembang terkubur bersama meninggalnya dalang wayang Palembang, Ki Rusdy Rasyid.yang tinggal di Kelurahan 36 Ilir, Kecamatan Gandus, Palembang. Dalang wayang Palembang lainnya yang sudah wafat yaitu Syeh Hanan dan Ki Agus Umar. Sedangkan Ki H. Ahmad Sukri Akhab yang dulu mendalang di RRI Palembang, kemudian menjadi Kepsta RRI Palembang pindah menjadi Kepsta RRI Banjarmasin sampai pensiun.

Ki Sukri punya andil besar dalam pelestarian wayang Palembang pada tahun 1978-1980 ia terus menerus mendalang di RRI Palembang. Bahkan pernah pentas dan disiarkan selama 45 menit untuk TVRI Palembang siaran lokal dan 25 menit untuk siaran nasional.

Ada beberapa data penting di Perpustakaan Nasional.yang berkaitan dengan Wayang Palembang. Data tersebut berupa Naskah cerita wayang Palembang beraksara Arab Melayu (Dewaki Kramadibrata-Nugarjito, yang dikutip dari Overbeck, 1934b:104 ). Naskah tersebut tidak berjudul, tetapi terdiri dari tiga teks, yaitu 1) teks Bambang To’Sena; 2) Syair Sarikat Islam; dan 3) Bambang Gandawardaya.

Teks pertama berisi kisah seorang raja yang tinggal di pulau Alengka, yang bernama Prabu Gangga Trimuka masih keturunan Dasamuka, yang memerintah kerajaan Suratilang Teks kedua berisi cerita tentang batara guru yang ingin mencari putri raja bumi yang cantik untuk dijadikan istri.

Berdasarkan penelitian cerita wayang Palembang terbagi atas dua jenis, yaitu yang tertulis dalam aksara Jawa dan aksara Melayu Iskandar menyebutkan (1986) yang dikutip Dewaki, ada beberapa naskah wayang beraksara Jawa menjadi koleksi Raffles tersimpan di Royal Aseatic Society di Inggris; yang berasal dari Palembang. Naskah tersebut adalah:

1. RAS Raffles 28 dengan judul cerita wayang Purwo. Naskah ini milik Putra Mahkota Sultan Muhammad Baha’udin, kemudian menjadi Sultan Muhammad Baharudin tahun 1804.

2. RAS Raffles 29 dengan judul Wayang Gedog

3. RAS Raffles 30 dengan judul Rama Kawi

Lebih lanjut keterangan Iskandar kemungkinan naskah tersebut diatas diperoleh ketika Palembang diserbu tentara Inggris yang dipimpin Kolonel Gillespe. Naskah tersebut belum diteliti lebih lanjut..

Sejalan dengan itu hasil penelitian Ikram dkk (2003) dalam Catalogue of Palembang Manuscripts yang dikutip Dewaki, mengatakan bahwa penyimpan naskah di Palembang , antara lain:

1) Hikayat Jatuhnya Negeri Pendara yang dimiliki Mas Agus Haji Abdul Majid bin Mas Agus Haji Agus. Naskah berasal dari koleksi Nyimas Laili Yulita. Naskah tersebut berisi uraian tentang kisah peperangan rakyat Ukir Galung dengan rakyat Pendara.

2) Cerita Wayang berisi gambar-gambar Raden Arjuno dan Mas Agus Patoruk dan Ki Agus Guring

3) Hikayat Pandawa Lima: berisi kisah dan sejarah Pandawa Lima

2.3. Pendidikan Moral Bangsa

Pendidikan Moral Bangsa dahulu atau jaman Orde Baru diselenggarakan oleh badan yang bernama BP7 yang berkantor di jalan Pejambon, Jakarta Pusat.Badan tersebut yang mengajarkan Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia untuk seluruh insan di Republik. Ada penataran-penataran Pancasila yang harus diikuti semua karyawan dari semua departemen dan lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta.

Sejak pergantian pemerintahan kantor BP7 dibubarkan, sehingga pendidikan Pancasila sudah ditinggalkan. Bahkan pernah di televisi ditayangan wawancara dengan para pelajar menjelang Hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni, tidak ada seorangpun pelajar yang tahu sila-sila Pancasila. Pada hal Sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dihafal luar kepala oleh setiap anggota masyarakat Indonesia dan harus diaplikasikan dalam setiap perilakunya. Namun banyak warga negara yang sudah melupakan, akibatnya terjadi korupsi di mana-mana Hal ini mengakibatkan menurunnya moral bangsa. Bukti kemerosotan moral tersebut dapat dijumpai pada pemberitaan di surat kabar, radio dan televisi tentang maraknya narkoba, pembunuhan, perampokan dan lain-lain.

Anak sekolah, mahasiswa, suami istri, birokrat, selebriti banyak yang mengkonsumsi narkoba. Majalah porno dan VCD porno banyak dijual di Glodok. Belum lagi tayangan kekerasan yang disajikan televisi kita menambah keprihatinan. Akibatnya terdapat perilaku yang menyimpang dari standar moral yang harus segera diluruskan agar anak-anak dan remaja kita tidak jatuh ke lembah nista.

Banyak orang sudah kehilangan akal sehatnya, kebenaran jauh dari genggaman. Manusia sudah kecerdasannya dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Setan sudah merasuk kesanubari manusia, sehingga perbuatan buruk dianggap baik dan perbuatan baik dianggap salah. Standar kebenaran dan standar moral telah hilang ditelan bumi.Padahal standar moral itu tidak berubah selalu menyarakan kebenaran, yang berubah cara pandangnya

Di bawah ini ditampilkan contoh kontrol sosial melalui punakawan sebagai berikut:

Petruk : Reng apo kamu nyingok pondok- pondok yang tegak di dekat tugu Proklamasi

Gareng Ado apo yo Truk, kejinggoannyo banyak main uong yang tidak di pondok-pondok itu ? Kalu nengar logat ngomongnyo pecaknya uong Jawa Timur Truk

Petruk : Betul nian. Merekatu rombongan korban Lumpur panas Lapindo di Sidoarjo. Merekatu sudah menderita kehilangan harta milik dan masa depannyo. Untung kamu tidak mengalami hal yang sama.

Gareng : Kasihan yo rombongantu sudah berapo bulan tiduk di pasar yang penoh lalat dan kotor. Apolagi kalu mau berak harus antri

Petruk : Apo pimpinan Lapindo dak cepat ganti rugi hak korban Lumpur panas tersebut

Gareng : Rombongan berjanji akan mengganti . Masalahnyo semakin hari semakin luas daerah yang terendam Lumpur panas tu. Bahkan para ahli teknologi maupun para normal sudah digerakkan untuk nyetop semburan Lumpur panas itu.

Petruk : itulah yang membuat pusing rombongan aparat , apo rombongan korban , pemilik Lapindo, Petinggi sibuk dan tidak tahu jalan keluarnyo.

Gareng : Mungkin ini sudah kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ado yang bisa menghindar.

Inilah salah satu contoh dialog yang disampaikan dalang wayang Palembang sebagai alat kontrol sosial dalam menyuarakan moral.

Menurut Sumari, dalang yang juga Ketua PDWI Senawangi, mengatakan bahwa pesan moral dapat disampaikan dalang dengan baik dan berhasil, perlu metode-metode khusus. Dalam tradisi pedalangan penyampaian pesan-pesan dapat dilakukan dengan 3 cara, yakitu:

1. Methok,

2. Medhung miring

3. Nyampur pikoleh.

Medhung miring, yakni menyampaikan pesan dengan cara verbal. Vulgar seorang dalang meniru seperti juru penerang. Misalnya menyampaikan KB. Seorang dalang menyampaikan apa adanya. Apa itu KB? Pembatasan Kelahiran, alat-alat kontrasepsi dan lain-lain.Methok hampir sama dengan medhung miring hanya bahasa tehnis diganti dengan bahasa wayang seperti Keluarga Berencana menjadi Keluarga Rinancang dan lain-lain. Sedangkan Nyampur pikoleh menyampaikan pesan-pesan lebih halus, tersamar, simbolis.Misalnya dalam menyampaikan pesan-pesan KB dengan mengambil penggambaran kelebihan dan keberuntungan Dewi Kunti dengan ke 3 anaknya telah berhasil menjadi kesatria-kesatria yang jauh berbeda dengan Dewi Gendari dengan 100 anaknya menjadi sumber malapetaka kerusuhan, kemaksiatan dan lain-lain.

BAB III

Metodologi Penelitian

1.2.Metode Penelitian

a) Penelitian dokumentasi (library research)..

b) Penelitian lapangan (field research) : pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif eksploratif. Sebagai key informan.:

1.Dalang wayang Palembang, Ki Agus Wirawan.

2.Ketua Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) cabang Palembang, R. Amin Prabowo

3.Tokoh budayawan Palembang merangkap Pembina Pedalangan, R. Dalyono.

4. Nara sumber yang terlibat revitalisasi wayang Palembang, Mikka, S.S. dan Sumari, S.Sn, MM.

1.3.Tehnik Pengumpulan Data

a) Untuk library reseach: dengan mencari dokumen yang berkaitan dengan wayang Palembang, dari sejarah, cerita wayangnya, peranannya. .Juga ditelusuri dari hasil penelitian tentang wayang Palembang yang pernah dilakukan

b) Untuk field research dilakukan wawancara mendalam ( in depth interview) kepada semua key informan untuk mengungkap kondisi wayang Palembang sekarang dan bagaimana perannya sebagai deseminator informasi publik.

1.4.Tehnik Pengolahan Data

Data yang sudah diperoleh baik melalui studi kepustakaan maupun hasil wawancara diolah dan sekaligus dianalisis secara deskriptif.

1.5.Lokasi Penelitian:

Sanggar Sri Palembang di Palembang, Sumatera Selatan. Sanggar ini adalah terletak di rumah almarhum Ki Rusdy Rasyid.

BAB IV

Hasil Penelitian Dan Pembahasan

4.1. Pemetaan Kondisi Wayang Palembang

Kondisi Wayang Palembang sangat menyedihkan. Banyak fisik wayang Palembang yang hilang. Yang masih adapun sudah tidak lengkap lagi, seperti tangannya ada yang putus. Ada wayang yang bekas terendam air, bekas terbakar, dimakan rayap, sehingga tidak punya daya tarik untuk dipentaskan. Oleh karena itu UNESCO memberikan bantuan berupa peralatan gamelan dan fisik wayangnya kepada sanggar Sri Palembang.Di samping itu Pemerintah Kota Palembang dan Sultan Palembang Darusalam juga memberikan bantuan kelengkapan ruang latihan.

Ada 4 (empat) generasi wayang Palembang:

1. Generasi pertama, diperkirakan dari Yogyakarta abad 17.

2. Generasi kedua, hasil pertemuan Jawa (Yogya) dialkulturasi dengan Palembang. Ini yang dianggap wayang Palembang yang asli.

3. Generasi ketiga, wayang-wayang baru yang sudah dimodifikasi, bikinan Pak Dalyono.

4. Generasi keempat, wayangnya bikinan Pak Sukarman (almarhum) merupakan olahan dari generasi ke 2.. Wayang ini yang merupakan hadiah dari UNESCO. (wawancara dengan Mikka, 2007).

Adapun lakon-lakon Wayang Palembang

1. Bambang Tuk Seno

2. Prabu Indropura

3. Bambang Gandawijaya

4. Pandawa Lebur

5. Petruk Mungga Ratu

6. Arjuno Duo

7. Semar Kembar (wawancara dengan Pak Dalyono).

Lakon Bambang Tuk Seno ini asli Palembang, tidak ada di wayang Jawa. Lagu-lagu atau gending yang dipakai untuk mengiringi wayang Palembang: adalah Gending Sriwijaya dan Cut Mailang. Adegan goro-goro di Wayang Palembang terdiri dari Semar, Petruk, dan Gareng. Tokoh Bagong tidak ada dalam wayang Palembang.

Dalang wayang Palembang hanya ada 3 orang dan semuanya masih muda usianya. Demikian pula para penabuh gamelan juga anak-anak muda. Untuk menjadi dalang popular seperti dalang sepuh terdahulu perlu kerja keras baik dalam tehnik pedalangan maupun tehnik penyampaian pesan informasi publik.

4.2.Model Komunikasi Anderson

Model Anderson ini dapat menjelaskan peranan dalang wayang Palembang dalam diseminasi informasi publik.

Source & Receiver Factors

Communication-Binding Context

Channel Elements

Message Elements

Specific Setting Situation & General Environment

Knowledge, ideas, experience

Interaction of all the elements

Nature of Media

Ideas and content

State of things generally

Attitudes, beliefs, values

Effect of time

Limits on audience

Organisation

State of the topic

Needs, wants, goals.

Process nature of communication

Selectivity in transmission of stimuli: sound, sight, others.

Language & style

Immediate environment

.Interests

Complexities due to nature of processes involved in communication.

Delivery elements: spoken, written, others

. Audience size

Group & role memberships

. Interaction of other elements affecting setting

Communication Abilities

Public of private.

Perception of other elements

(Anderson, Introduction to Communication Theory and Practice 1972:9)

4.2.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku komunikasi adalah sumber (source), dalam hal ini adalah dalang wayang Palembang Dalang adalah seseorang yang menyampaikan informasi publik melalui saluran (channel) wayang Palembang kepada penonton (receivers) Dalang sebagai komunikator dalam diseminasi informasi publik sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

1.Pengetahuan umumnya (knowledge) baik mengenai seni pedalangan maupun informasi publik (ideas), dan pengalaman mendalang (experiences). Seorang dalang yang mempunyai pengetahuan umum yang luas ditambah dengan pengalaman mendalang yang lama akan memudahkan baginya untuk menyampaikan informasi publik yang mudah ditangkap penonton tanpa merusak seni keindahan pedalangan.

2.Keterampilan seorang dalang dalam berkomunikasi (communication abilities) akan mempengaruhi berhasil tidaknya proses komunikasi. Pesan-pesan baik yang bersifat normative maupun filosofis yang disampaikan ki dalang akan dipahami penontonnya kalau pesan tersebut mudah dicerna.

3.Seorang dalang mengetahui norma-norma yang berlaku (values) dalam hal ini pakem. Di samping itu dalang harus memperhatikan adat istiadat masyarakat penanggapnya. Apabila norma-norma tersebut dilanggar dapat mengakibatkan penontonnya bubar.

4.Dalang-dalang mempunyai perkumpulan pedalangan (group member ships), yang terhimpun dalam PEPADI (Persatuan Pedalangan Indonesia) guna meningkatkan ketrampilannya. Seringkali informasi publik disampaikan pemerintah melalui organisasi pedalangan tersebut.

4.2..2. Faktor-faktor yang mempengaruhi channel, dalam hal ini pagelaran wayang Palembang, antara lain:

1. Sifat media (nature of media). Wayang terikat pada Pakem, pedoman yang harus diikuti oleh dalang baik dalam mengambil isi cerita, gending-gending (musik) yang dipilih, maupun pesan-pesan filosofis yang disampaikan ke dalam pagelarannya. Menurut Hazim Amir (1991), medium wayang mempunyai karakteristik sebagai berikut:

b) Wayang kulit sebagai teater, mempunyai fungsi yang sama dengan teater-teater pada umumnya, yakni memberikan santapan yang bersifat psikologis, intelektual, religius, filosofis, estetis dan etis. Bedanya wayang tidak memisah-misahkan fungsi-fungsi tersebut.

c) Wayang memberikan hiburan yang sehat bagi penontonnya. Ada unsur-unsur tragedi, komedi dan tragikomedi. Ada percintaan yang mengharukan, dilema-dilema yang berat, pengorbanan yang besar, dan hiburan yang berupa lawakan.

d) Wayang selamanya tidak menggurui, tetapi lebih banyak mempersilakan penonton untuk mencari sendiri arti yang terkandung dalam pertunjukan.

2. Pagelaran wayang kulit di panggung mempunyai penonton terbatas (limits on audience). Pagelaran wayang kulit di desa-desa seringkali menyerap banyak penonton. Dengan radius 5 km. Apabila wayang disiarkan melalui radio atau televisi, maka jangkauan penontonnya akan lebih luas lagi.

3. Pagelaran wayang kulit yang bagus sangat dipengaruhi oleh stimuli, yang berupa:

a) Suara ( sounds) dalang. Dalang yang baik dapat membedakan suara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain. Lebh-lebih kalau siaran wayang kulit tersebut disiarkan melalui radio, factor suara dalang ini sangat menentukan kesuksesan pagelarannya.

b) Segi estetika (sight) dalam pagelaran wayang turut menentukan. Sang dalang harus mampu mengatur letak tokoh-tokoh wayang dalam persidangan, sesuai dengan karakter masing-masing tokoh wayang.

4.2..3. Faktor-faktor yang mempengaruhi situasi dan lingkungan (specific setting situation and general environment):

Pagelaran wayang kulit di panggung jauh lebih menarik dibandingkan dengan pagelaran yang siarannya menggunakan radio atau televisi. Dahulu pagelaran wayang Palembang berlangsung 8 jam non stop tanpa berhenti dan dapat memberikan kenikmatan bagi penontonya, sekarang pagelaran hanya berlangsung 2 jam. Hal ini disebabkan dalang wayang Palembang masih remaja, dan perlu latihan dan kerja keras sehingga bisa tampil seperti dalang-dalang sepuh yang sudah almarhum.

Para penonton wayang di panggung dapat leluasa menonton dalangnya atau penabuh gamelannya atau menonton penontonnya. Mereka juga bisa membeli makanan dan minuman di sekitar panggung pertunjukan wayang. Menonton wayang dalam suasana santai, dapat mengobrol dengan teman-teman sekitar, bahkan dapat pula melakukan transaksi bisnis. Berbeda dengan menonton film harus serius..

4.2.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pesan-pesan menurut Anderson adalah

1) Ideas and content

2) Organization

3) Language and style

4) Delivery elements: spoken, written, others.

4.2.4.1. Ideas and content

Seorang dalang wayang Palembang harus mempunyai banyak ide-ide tentang informasi publik, apakah masalah flu burung, masalah demam berdarah, masalah bencana alam ataukah masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan di masyarakat. Apa yang dimaksud dengan flu burung itu? Bahaya-bahaya yang diakibatkan flu burung apa saja? Bagaimana cara penanggulangannya agar korban dapat dikurangi jumlahnya seminal mungkin? Bagitu pula dengan masalah demam berdarah, masalah bencana alam dan masalah-masalah lain yang diperlukan masyarakat informasinya. Untuk itu seorang dalang wayang Palembang harus aktif mengembangkan pengetahuannya sendiri apakah lewat pendidikan formal maupun non formal. Disamping itu ia lebih aktif mengakses informasi publik dari internet, karena internet menyediakan bermacam-macam informasi.

4.2.4.2. Organisasi Pesan

Pesan yang disampaikan dalang kepada penontonnya melalui pagelarannya. Untuk wayang Jawa gaya Yogyakarta, setiap dalang dapat memanfaatkan penyampaian pesan informasi publik melalui ke tujuh jejer dan goro-goro dalam pagelaran wayang semalam suntuk yang terbagi dalam tiga bagian pathet, pathet nem, pathet sanga dan pathet manjura.. Akan tetapi wayang Palembang tidak mengenal jejer, dan tidak mengenal struktur dramatik seperti patht nem, -pathet sango dan pathet manyuro.

Adegan-adegan dalam Wayang Palembang mengalir begitu saja sesuai alur cerita. Lama pagelaran dahulu semalam suntuk, sekarang hanya dua jam tergantung permintaan penanggap. Adegan goro-goro pada wayang Palembang terdiri dari Semar, Gareng dan Petruk. Mereka tidak mengenal Bagong. Di samping itu wayang Palembang tidak mengenal sinden (penyanyi). Padahal banyak pesan-pesan yang disampaikan melalui tembang sang sinden.

Dengan demikian pesan-pesan informasi publik disampaikan dalang melalui alur cerita dan ketiga punakawan yang terdiri Semar, Gareng dan Petruk. Ketiga punakawan ini pegang peranan penting dalam penyebaran informasi publik. Selain membuat tertawa penonton yang melihat bentuk fisik punakawan, belum lagi candak tawanya dan pesan-pesan yang bersifat pendidikan moral maupun kritik sering disampaikan.

4.2.4.3.Language and style

Bahasa yang digunakan dalang wayang Palembang adalah bahasa Melayu Palembang. Sebagai seorang dalang wayang Palembang harus menguasai bahasa sastra Palembang yang mengandung nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam masyarakat Palembang. Nilai-nilai luhur ini penting untuk disampaikan pada masyarakat penonton terutama generasi muda, karena didalam nilai-nilai luhur tersebut terkandung banyak pendidikan moral.

Setap dalang mempunyai style atau gaya yang berbeda didalam menyampaikan pesan untuk penontonnya agar menarik. Seperti dalang-dalang terkenal wayang purwo punya gaya yang berbeda satu dengan yang lain. Misalnya Ki Mantep Sudarsono mempunyai kelebihan dalam sabetan (cara memainkan wayang) seolah-olah tokoh wayang yang dimainkan itu hidup seperti manusia. Lain halnya dengan Ki Anom Suroto lebih dikenal dalam ontowacana (dialog antar tokoh-tokoh wayang). Di dalam dialog tersebut ia selalu membawakan dakwah yang tentunya disenangi penonton. Disamping itu dalam adegan goro-goro sangat menarik penonton karena banyak variasinya, sehingga penonton seringkali minta diperpanjang masa adegan goro-goronya.

4.2.4.4. Delivery elements: spoken, written, others.

Penyampaian pesan informasi publik yang disampaikan dalang wayang Palembang dapat melalui lisan maupun tulisan. Ketika sang dalang sedang mendalang ia menggunakan bahasa lisan untuk pagelarannya. Ia menyuarakan tokoh-tokoh wayang yang ditampilkan dalam setiap pagelaran. Bagi dalang harus menguasai suara atau bahasa yang dipakai tokoh wayang seperti Gareng yang berbeda suara dan gaya bahasanya dengan tokoh Petruk atau Semar. Begitu pula ketika sang dalang memegang tokoh Arjuno suaranya berbeda dengan ketika ia memegang tokoh Dursosono. Untuk itu perlu latihan yang terus menerus baik dalam ontowacana (dialog antar tokoh wayang). Dalam latihan perlu dana untuk membayar pelatih dan konsumsi serta keperluan lainnya.

Bagi dalang yang menyampaikan cerita wayang melalui media cetak seperti surat kabar atau majalah, ia menggunakan bahasa tulisan. Kemasan bahasa tulis berbeda dengan bahasa lisan. Karya sastra dalam bahasa tulis jauh lebih bagus dibanding bahasa lisan. Keuntungan dari bahasa tulis bisa disimpan untuk dipelajari kapan saja. Dengan hadirnya media baru atau internet, kisah-kisah wayang dapat dilestarikan dalam video maupun dalam bentuk artikel yang menarik. Mengingat 3 orang dalang wayang Palembang tersebut usianya masih muda, perlu diberi latihan ICT sehingga mereka dengan cepat bisa mengembangkan wawasannya dengan mengakses ilmu pengetahuan yang berguna.. Selain itu mereka juga bisa mengisi website tentang wayang Palembang dan seluk beluknya.

4.3. Manfaat yang dapat dipetik dari nilai-nilai luhur yang terkandung dalam wayang Palembang.

Dengan bangkitnya dalang wayang Palembang membuat maraknya seni budaya lokal. Dewasa ini banyak budaya-budaya lokal yang sudah tidak dikenal dinegaranya sendiri terutama generasi mudanya. Padahal di mancanegara budaya-budaya lokal kita dipelajari dan dirawat dengan baik. Seperti naskah cerita pewayangan Palembang ternyata terawat rapi dan disimpan sebagai koleksi Raffles di Inggris. Belum lagi koleksi di negari Belanda.

Nilai-nilai luhur tersebut banyak mengandung pelajaran moral yang selalu diajarkan oleh nenek moyang kita secara turun temurun. Namun dewasa ini jaman sudah berubah dimana para ibu rumah tangga banyak yang mencari nafkah di luar rumah, sehingga tidak ada waktu mendongeng dikala putra putrinya yang masih balita menjelang tidur. Dengan demikian banyak nilai-nilai luhur yang tidak dikenal lagi sebagai pendidikan moral. Apalagi dengan kemajuan teknologi informasi, maka dengan mudah masuknya budaya-budaya Barat yang belum tentu cocok dengan kondisi budaya Indonesia yang mengakibatkan generasi muda lebih mengenal budaya Barat daripada budaya lokal seperti wayang Palembang, Dulmuluk dan sebagainya.

Ketika sang dalang pentas ia membawakan lakon-lakon wayang dalam bahasa Melayu Palembang. Dalam lakon yang dibawakan banyak mengandung nilai-nilai luhur yang berlaku dalam masyarakat Palembang. Menurut Pak Dalyono, budayawan Palembang, nilai-nilai luhur yang berlaku dalam masyarakat Palembang, antara lain tatanan kehidupan yang aman, rapi, indah, sejahtera dan tidak adanya kebrutalan. Dengan kata lain salah satu nilai luhur adalah kepedulian terhadap orang lain. Dengan menjaga kepedulian tersebut akan terpelihara rasa saling menghargai, rasa gotong royong seperti yang tercantum dalam pandangan hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila yang sudah mulai dilupakan masyarakat. Padahal pandangan hidup perlu ditegakkan agar tercapai rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Nilai-nilai luhur yang disampaikan dalang wayang Palembang tentu berbeda kemasannya bila disampaikan media cetak ataupun media elektronik seperti radio dan televisi. Hal ini disebabkan karakteristik masing-masing media berbeda satu sama lain.

Pempro Palembang mendapat banyak manfaat dari kekayaan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam masyarakat Palembang. Selain pelestarian budaya Palembang, nilai tambah dari keberadaan wayang Palembang dapat dikembangkan pemerintah propinsi Palembang dalam berbagai bidang, yaitu bidang ekonomi, sosial dan politik.

Di bidang ekonomi, wayang Palembang dapat berkolaborasi dengan media cetak, media elektronik dan media internet. Media cetak dapat membuat berita yang menarik tentang keberadaan wayang Palembang, disamping itu bisa memuat komik wayang, atau cerita bersambung tentang lakon-lakon wayang Palembang.

Media radio dapat menyiarkan pagelaran wayang Palembang, agar masyarakat luas dapat mengenal budaya Palembang dengan baik. Begitu pula media televisi dapat meyiarkan berita kegiatan wayang Palembang dan bentuk fisik wayang lengkap dengan pagelarannya. Yang penting kemasannya bagus sehingga menarik penonton generasi muda.

Media baru atau internet dapat pula menyajikan wayang Palembang.melalui website budaya. Seperti budaya Padang dapat dilihat di website Rumah Gadang. Dengan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam masyarakat Palembang, maka budaya lokal ini dapat menjadi filter bagi masuknya budaya asing.

Wayang Palembang bisa pula bekerjasama dengan dunia bisnis seperti kerajinan wayang yang membuat wayang, baju kaos yang disablon dengan gambar wayang Palembang, lukisan wayang untuk hiasan dinding, dan lain-lainnya.

Di bidang sosial, wayang Palembang dapat dimanfaatkan pemerintah propinsi Palembang untuk pemberantasan narkoba yang marak menyerang generasi muda kita. Karena sifat wayang tidak menggurui, tetapi lebih banyak mempersilakan penonton untuk mengambil keputusan sendiri yang dianggap terbaik.

Dalam hari-hari ulang tahun daerah seperti hari jadi kota Ponorogo di Jawa Timur selalu menyugukan budaya lokal seperti reog Ponorogo dan wayang purwo. Disini budaya lokal dapat menjadi perekat budaya bangsa.

Di bidang politik, para calon pemimpin banyak yang menanggap wayang untuk kampanye pilkada. Sang dalang dengan pandainya meyakinkan pada penonton akan pentingnya pilkada dan pemimpin-pemimpin yang bagaimana yang perlu dipilih rakyat.

BAB V

Penutup

5.1. Kesimpulan

  1. Keberadaan wayang Palembang sangat memprihatinkan baik dari segi fisik wayang maupun dari dalangnya. Pihak UNESCO, Senawangi dan Pemerintah Propinsi Palembang saling bau membau melestarikan wayang Palembang. Bantuan yang berbentuk peralatan wayang dan gamelan Jumlah dalang 3 orang dan 12 orang penabuh gamelan, semuanya anak-anak muda. Dalang-dalang tersebut menyampaikan pendidikan moral melalui pagelarannya dalam bahasa Melayu Palembang..
  2. Kebangkitan dalang wayang Palembang otomatis melestarikan budaya Palembang yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat, terutama nilai-nilai luhur yang saat ini sudah banyak ditinggalkan.Proses penyampaian pesan pendidikan moral dapat dijelaskan dengan model komunikasi Anderson.
  3. Pengembangan dalang wayang Palembang yang mampu menyampaikan pendidikan moral kepada masyarakat luas perlu pelatihan yang terus menerus baik dari tehnik pedalangan, maupun tehnik penyampaian pesan yang berkualitas. Untuk itu Pempro Palembang perlu membina wayang Palembang dari segi content (isi) pendidikan moral bangsa dan dana untuk kualitas pesan dan mutu pedalangan wayang Palembang.

5.2.Rekomendasi

1. Pelestarian wayang Palembang perlu digalakan melalui berbagai macam lapisan masyarakat, baik pihak pemerintah maupun swasta demi martabat budaya Palembang.

2. Perlu pelatihan ICT bagi para dalang wayang Palembang agar mereka dapat leluasa mengakses internet untuk mencari ilmu pengetahuan. Disamping itu mereka dapat membuat website khusus wayang Palembang yang dapat menyajikan nilai-nilai luhur. Dengan demikian budaya lokal seperti wayang Palembang dapat menjadi filter masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya sendiri.

3. Perlu dana untuk pelatihan, festival dan lain-lain guna peningkatan kualitas mutu pedalangan maupun kualitas penyampaian pesan pendidikan moral bangsa tanpa merusak nilai seni. Pedalangan.

4. Perlu penelitian lebih lanjut tentang budaya-budaya lokal lainnya, mengingat di Negara kita terdapat berbagai jenis budaya lokal yang berbeda satu dengan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim, Nilai-Nilai Etis dalam Wayang, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Anderson, Kenneth E., Introduction to Communication Theory and Practice, Cummings Publishing Co., Menlo Park, 1972.

BP2Pen dan Senawangi, Hasil Penelitian Apresiasi Masyarakat Terhadap Seni Pewayangan, Jakarta, 1998.

Clara van Groenendael, Victoria M., Dalang di Balik Wayang, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Departemen penerangan, Daftar Inventarisasi Pertunjukan Rakyat Seluruh Indonesia Tahun 1988, Jakarta, 1989.

Dinas P&K Propinsi Jawa Timur, Buku Biodata Seniman Dalang dan Waranggono se-Jawa Timur, Surabaya, 1996.

_____________, Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Tari Daerah, Laporan Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Jawa Timur, Surabaya, 1996/1997.

_____________, Buku Seni Tradisi Budaya Daerah, Data Organisasi Kesenian Daerah se-Jawa Timur, Surabaya, 1997/1998.

_____________, Data Organisasi Kesenian di Sekolah se-Jawa Timur Tahun 2003, Surabaya, 2004.

Djajakusumah, Gunawan, Pengenalan Wayang Golek Purwo di Jawa Barat, Lembaga Kesenian Bandung, 1978.

Foley, Kathy, Sundanese Wayang Golek, Hawaii University, 1979.

FIS-UI & BKKBN, Laporan Penelitian Evaluasi Media Tradisional dalam Pelaksanaan Program K/KB di Jawa dan Bali, Jakarta, 1982.

Ihkram, Achadiat, Jati Diri yang Terlupakan, Naskah-naskah Palembang, Yayasan Naskah Nusantara, Jakarta, 2004.

John, Little, Theories of Human Communication, Charles E. Merrill Publishing Co., Ohio, 1982.

Kayam, Umar, Seni Tradisi Masyarakat, Sinar Harapan, Jakarta, 1981.

Lerner, Daniel, The Passing of Tradisional Society: Modernizing The Middle East, Free Press, New York, 1958.

Mulyono, Sri, Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta, Gunung Agung, 1982.

Nurrochsyam, Mikka Wildha, Wayang Palembang: Deskripsi tentang Warisan Budaya Diambang Kepunahan, belum terbit, Jakarta, 2005.

Oepen, Manfred, ed. Media Rakyat, P3M, Jakarta, 1988.

Overbeck, H., Bambang To’seno een Palembang Wayang Verhaal, Majalah Jawa, 1935.

Probohardjono, S., Pakem Pendalangan, Lampahan Wayang Purwo, jilid 1, CV. Ratna, Surakarta, 1989.

Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI, Laporan Penelitian Kajian Kebijakan Pemanfataan dan Pengembangan Media Tradisional, Jakarta, 2003.

Rogers, Everett M. and Douglas Solomon, ”Traditional Midwive as Family Planning Communicators in Asia”, East-West Communication Institute, Report, Honolulu, 1975.

_____________, Diffusion of Innovation, Free Press, New York, 1976.

_____________, and Ronny Adhikarya, Diffusion of Innovation, an Up to Date Review of Commentary, Communication Year Book 3, edited by Dan Nimmo, New Jersey, 1979.

Sastroamidjojo, Seno, Nonton Pertunjukan Wayang Kulit, PT. Percetakan RI, Jogjakarta, 1958.

_____________, Sekelumit Unsur Filosofik Tjerita Ardjuno Wiwaha, Kinta, Jakarta, 1963.

_____________, Renungan Tentang Pertunjukan Wayang Kulit, Kinta, Jakarta, 1964.

Satoto, Sudiro, Wayang Kulit Purwo Makna dan Struktur Dramatikanya, Javanologi, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud, Jogjakarta, 1985.

Sumantri, Barnas dkk, Wayang Betawi Aspek Pendalangan, Karawitan, Seni Tari dan Seni Rupa, Proyek Konservasi Kesenian Tradisional Betawi, Dinas Kebudayan DKI Jakarta, 1983.

Sukarman, M. Sulebar dkk., Wayang The Traditional Puppetry and Drama of Indonesia, Senawangi, Jakarta, 2002.

Walujo, Kanti W, Peranan Dalang dalam Menyampaikan Pesan-pesan Pembangunan, Deppen, Jakarta, 1995.

_____________, Wayang as A Medium of Communication in Java, Unitomo, Surabaya, 1995.

_____________, Wayang Suluh Sebagai Media Komunikasi, Jurnal Penelitian dan Komunikasi Pembangunan No. 33, BP2Pen, Jakarta, 1995.

_____________, Wayang Langka dan Kemungkinan Pemanfaatannya Sebagai Media Komunikasi Pembangunan, Jurnal Penelitian dan Komunikasi Pembangunan No. 40, BP2Pen, Jakarta, 1997.

_____________, Dunia Wayang, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2000.